Rohingun: Dari Pedalaman, Berjuang Taklukkan Peradaban

Keterbatasan seringkali membuat seseorang ingin menyerah dengan keadaan. Namun, tak demikian dengan Rohingun, guru produktif multimedia di SMK Bina Nusa Slawi.

***

“Masuk, Bu.”

Demikian sapanya saat saya datang.

Di hadapan laki-laki yang akrab disapa Pak Rohi itu, tampak tumpukan berkas milik siswa. Rupanya, saat itu beliau sedang merapikan berkas raport milik anak didiknya, kelas XI Multimedia. Pak Rohi mengerjakan tugas tersebut sambil nglemprak di lantai.

Iya, nglemprak. Saya mau ketawa, tapi kemudian ingat, bahwa beberapa jam lalu, saya ada juga melakukaan hal serupa. Nglemprak sambil merapikan berkas siswa yang astaganaga banyaknya itu. Bedanya, saya sudah selesai, tapi Pak Rohi belum. Hahaha…

Pak Rohi bersama siswa kelas XI MM di Bali

Pak Rohi mengawali cerita siang itu dengan masa kecilnya. Sesekali, matanya tampak menerawang saat mengenang perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan.

Tumbuh besar di Kecamatan Susukan, Desa Gumelem Wetan Banjarnegara, Rohingun kecil harus berdamai dengan segala keterbatasan yang ada. Letak rumahnya yang terpelosok, dekat dengan gunung dan hutan, membuat penerangan sangat terbatas. Kala itu, penerangan di desanya hanya mengandalkan pembangkit listrik tenaga surya. Alhasil, ketika malam tiba, ceplik menjadi satu-satunya sumber cahaya di rumah.

Jauh dari Sekolah

Letak rumahnya yang jauh dari pusat kota, juga membuat berbagai sarana publik jadi tak terjangkau. Termasuk, sarana pendidikan. Masih hangat dalam ingatan Pak Rohi, kala ia harus menerabas hutan, berjalan kaki puluhan kilometer, melipat jarak, demi menuju ke sekolah.

Keadaan tersebut beliau lalui selama bertahun-tahun, dari bangku SD hingga SMP. Mendengar ceritanya, saya jadi terdiam. Mendadak membayangkan jika kondisi serupa dialami oleh anak jaman sekarang. Akankah mereka bertahan? Atau, menyerah dengan keadaan? Entahlah.

Barulah saat di SMK, Pak Rohi mengakui bahwa perjalanan menuju ke sekolah menjadi lebih ringan. Semua itu, berkat sepeda motor yang dibelikan oleh orangtuanya.

“Saat SMK, saya dibelikan motor. Motor bekas.” Katanya mengenang.

Tak Langsung Kuliah

Di bangku SMK, Pak Rohi mengambil jurusan Teknik Kendaraan Ringan. Kala itu, dalam benak Rohingun, jurusan bukanlah hal yang penting. Yang penting baginya adalah bersekolah. Maka, dipilihlah sekolah yang murah. Maklum, orangtuanya saat itu hanya mengandalkan kehidupan dari menyadap nira.

“Saat itu di tempat tinggal saya, jarang ada anak yang melanjutkan sekolah. Umumnya, anak-anak hanya bersekolah sampai SD saja. Tapi, saya ingin tetap sekolah.”

Lulus dari SMK, Pak Rohi tak langsung melanjutkan ke jenjang kuliah. Pembiayaan, lagi-lagi jadi kendala. Itu sebabnya, berbekal niat ingin membantu orangtua, Pak Rohi memutuskan untuk merantau ke Kalimantan. Selama lima bulan di Kalimantan, Pak Rohi bekerja sebagai buruh di kebun sawit.

“Wah, bisa manjat pohon sawit dong, Pak?” gurau saya yang disambut gelegar suara tawanya.

Menjadi Asesor pelaksanaan uji sertifikasi

Menjadi Guru

Cerita lalu bergulir ke masa-masa saat Pak Rohi mengecap bangku kuliah. Berhubung kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan untuk mengambil kuliah reguler, Pak Rohi memutusakan untuk kuliah Sabtu Minggu di STIMIK Widya Utama. Jurusan komputer menjadi pilihannya. Itulah untuk kali pertamanya Pak Rohi jatuh cinta dengan dunia pemrograman. Cinta yang masih terus terjaga hingga saat ini.

Tentang bagaimana awalnya bisa terjun ke dunia pendidikan, Pak Rohi menyebut ada andil kawan-kawan kuliahnya. Jadi, pada masa itu, demi menyambung hidup dan membayar biaya kuliah, Pak Rohi harus bekerja hari Senin hingga Kamis.

Suatu ketika, untuk beberapa waktu, Pak Rohi menganggur. Salah seorang kawannya yang lebih dahulu menjadi guru kemudian mengajak Pak Rohi untuk melamar menjadi guru. Awalnya, Pak Rohi ragu. Tak pernah sedikitpun terbersit dalam benaknya akan menjadi guru. Terlebih, kala itu Pak Rohi sering sekali mendengar cerita tidak menyenangkan tentang menjadi guru, dari tetangganya.

“Guru itu gajinya sedikit tapi kerjaannya banyak.”

Duh. Kok bener.

Tapi pada akhirnya, keputusan itupun dibuat. Pak Rohi, mengiyakan ajakan temannya untuk menjadi guru. Suatu keputusan yang tidak pernah dia sesali. Karena ternyata, menjadi guru adalah jalan hidup yang membuatnya bahagia. Buktinya, ketika lulus dari kuliah pun, lowongan pertama yang Pak Rohi cari adalah lowongan kerja jadi guru.

“Saya senang berbagi ilmu dengan murid-murid.”

Prinsip senang berbagi ilmu itu pula yang kemudian membuat Pak Rohi beberapa waktu lalu mengadakan pelatihan website secara gratis di Trasa CoWorking Space.

Menjadi pemateri di pelatihan membuat website

Bukan hanya itu saja. Kebahagiaan seorang Rohingun dalam berbagi ilmu pengetahuan juga ia dedikasikan lewat buku-buku hasil karyanya. Terbaru, ada buku berjudul 7 Materi Pemrograman Web untuk Pemula dan 7 Materi Pemrograman Web Modern yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo.

Saya pun lalu iseng bertanya. Jika hanya diperbolehkan memilih satu, mana yang akan dia pilih: Jadi guru, penulis buku atau kerja di perusahaan?

“Jadi guru.” Begitu jawabnya tanpa pikir panjang.

Wah, inspiratif sekali, ya, Sobat Binus. Kerja keras memang tidak akan menghianati hasil.

Dan yang paling utama, jangan menyerah dengan keterbatasan karena keterbatasan bisa menjadi peluang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *