Guru yang Merasa Bersalah dan Gairah Belajar Siswa

Pagi itu di grup WA kelas, Ibu Nunu selaku guru matematika di sekolah anak saya mengirimkan pesan. Kali ini pesannya tak biasa. Bukan menyapa ataupun memberikan informasi tugas seperti yang biasa dia lakukan. Tapi Ibu Nunu bercerita tentang “surat cinta” yang dia temukan di salah satu buku tugas. Surat cinta itu bertuliskan: Pelajarannya membosankan!

Kepada kami, Ibu Nunu meminta maaf jika pelajaran yang dia ampu dirasa membosankan oleh anak-anak. Padahal, setiap kali membuat tugas atau materi, Ibu Nunu sudah mencoba untuk memvariasikan metode pembelajaran: powerpoint, video, Zoom, semuanya.

Dalam pesannya, Ibu Nunu juga menceritakan bahwa dia telah berusaha membuat materi yang mudah untuk dipahami. Setelah selesai dibuat pun tidak langsung dia kirimkan, melainkan dibaca lagi, diubah lagi, disederhanakan lagi untuk memastikan bahwa materi tersebut layak untuk diberikan. Semua itu dia kerjakan sembari membayangkan wajah anak-anak didiknya. Tapi, jika ternyata masih dirasa membosankan, sungguh dia meminta maaf.

Entah bagaimana perasaan Ibu Nunu saat menulis pesan itu. Sebuah pesan dari hati yang mungkin dia tulis sambil menahan dada yang bergemuruh karena sedih.
***
Begitulah. Guru memang tak ubahnya seperti orangtua. Seringkali mereka diliputi rasa bersalah atas apa yang terjadi pada murid-muridnya. Seperti kasus Ibu Nunu tadi. Padahal, apakah kebosanan yang timbul adalah kesalahan Ibu Nunu? Apakah Bu Nunu satu-satunya yang bertanggung jawab sehingga dia benar-benar perlu untuk meminta maaf? Belum tentu.

Belajar sebagai suatu proses memang dekat dengan kebosanan. Belajar berbeda dengan main game yang mampu mengaktifkan dopamine pada neurotransmitter yang konon bisa menyebabkan efek candu. Jadi tidak usah heran ketika ada anak yang kecanduan bermain game, tapi tidak kecanduan belajar.

Tapi, jika belajar itu memang hal yang membosankan, mengapa sampai ada anak yang rela mempertaruhkan nyawa demi bisa menuntut ilmu? Tentang ini, Anda pasti masih ingat, beritanya begitu viral saat itu. Anak-anak SD di Desa Lewi Ipuh, Kecamatan Banjarsari rela menyeberangi sungai dengan jembatan gantung ala kadarnya untuk bisa ke sekolah. Sesuatu yang bisa saja tidak mereka lakukan, tapi tetap dilakukan meski nyawa taruhannya.

Barangkali, motivasilah pembedanya. Jembatan gantung rapuh dan jarak bukan hal yang berat untuk dilalui karena anak-anak itu punya motivasi yang kuat. Mereka ingin ke sekolah. Mereka ingin belajar. Sebuah energi positif yang rasanya mulai jarang dimiliki oleh anak-anak kita: gairah untuk belajar.

Maka, lahirlah generasi-generasi itu. Generasi yang tak memiliki gairah untuk belajar, meski kemudahan ada di depan mata. Generasi yang kemudian menyalahkan sistem atau orang-orang yang ada di pusarannya sebagai tertuduh. Pada kisah Bu Nunu, matematika sebagai objek dijadikan kambing hitam. Padahal, justru dari merekalah masalah itu berawal, yakni ketiadaan gairah untuk belajar.

Tentang ketiadaan gairah untuk belajar ini, seperti biasa, gawai akan selalu jadi tersangka. Meski kalau kita mau jujur, ada andil orangtua juga dalam matinya gairah belajar anak. Sekadar menanyakan apakah ada tugas hari ini membuat orangtua merasa sudah melaksanakan tugasnya. Padahal, anak-anak butuh pendampingan. Mereka butuh ditemani agar momen belajar menjadi hal yang menyenangkan.

Tidak perlu diadakan riset mendalam sekadar untuk membuktikan apakah gairah belajar anak-anak benar-benar telah mati. Tanyakan saja pada Ibu Nunu dan guru-guru yang lain bagaimana tingkat partisipasi siswa dalam pembelajaran jarak jauh. Tanyakan pula bagaimana bingungnya guru-guru itu dalam mengolah nilai. Nilai apa yang mau diolah, sedang tugas online pun banyak yang tidak mengerjakan?

Jika menurut Anda rendahnya tingkat partisipasi siswa dalam pembelajaran online dikarenakan ketiadaan kuota dan buruknya sinyal, Anda salah. Di tempat yang sinyalnya bagus dan mendapat bantuan kuota pun banyak siswa yang absen dalam mengerjakan tugas online.

Yang kemudian menjadi semakin menyebalkan adalah, bagaimana generasi yang sejatinya telah mati gairah belajarnya itu kemudian menuntut banyak hal. Mereka menuntut guru harus lebih aktif, padahal mereka sendiri pasif. Guru harus berinovasi, sedang mereka sendiri tak peduli. Sungguh ironis.

Seandainya saya jadi Ibu Nunu, tentu saya tidak akan semudah itu minta maaf. Bagaimanapun saya tahu saya telah berusaha. Laptop kreditan yang dicicil dari gaji honorer yang tak seberapa itu saksinya. Maka, tidak semestinya saya merasa bersalah atas kebosanan yang siswa-siswa rasakan. Tapi, itu saya. Ibu Nunu tentu berbeda, karena ia adalah seorang guru. Rasa bersalahnya adalah bentuk dari tanggung jawabnya sebagai guru.

Saya hanya khawatir, rasa bersalah itu akan menjelma seperti ombak yang mengikis karang kepercayaan diri para guru. Perlahan mulai mempertanyakan kemampuan diri, padahal bukan itu akar permasalahan sesungguhnya. Kemudian, bila para guru telah hilang rasa kepercayaan diri, mau dibawa kemana perahu pendidikan bangsa ini? Haruskah dibiarkan hanyut begitu saja dalam ombak ketidakpastian?
.

.

Artikel ini pertama kali tayang di detik.com tanggal 25 November 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *